Dirilis oleh Wildan (Mahasiswa Unila) Via Whatsapp
Penulis : Joni Iskandar (Ketua Umum HMI Cabang Bogor 2017-2018)
Dalam sebuah obrolan tengah malam, kami sampai pada kesimpulan, jika tokoh-tokoh besar dunia kebanyakan lahir dari kalangan elit menengah ke atas. Entah itu dalam hal materi maupun pendidikan. Setidaknya ia berasal dari silsilah keluarga pembesar. Deretan nama mulai dari Nabi Muhammad, para pendiri bangsa dan tokoh besar lainnya. Termasuk sosok pendiri HMI, Lafran Pane.
Ia lahir di tengah keluarga berpendidikan. Dua abangnya adalah sastrawan kenamaan sebelum kemerdekaan. Sementara ayahnya adalah pendiri organisasi Muhammadiyah cabang Sipirok, Sumatera Utara. Saat mayoritas masyarakat Hindia Belanda masih dilanda buta aksara, Lafran Pane dan saudara-saudaranya sudah bisa mengakses pendidikan berbahasa Belanda.
Sederhananya, mereka sekeluarga sudah akrab dengan budaya literasi sejak kecil. Bagian dari kalangan elit yang punya pengakuan khusus. Bisa jadi disebabkan karena mereka berasal dari keluarga bangsawan, atau golongan hartawan. Fakta tersebut semakin menguatkan jika gerakan perubahan selalu diawali dari kaum elit yang tercerahkan.
Tentu kesimpulan instan di atas sangat bisa diperdebatkan. Belum final. Silahkan tambah sendiri sample tokohnya.
Kembali ke Lafran Pane, minggu kemarin kami coba menggali pemikirannya. Diskusi tersebut diinisiasi oleh HMI Cabang Bogor. Kami baru sadar, ternyata sosok yang membidani kelahiran HMI tersebut tak banyak meninggalkan jejak pemikiran. Khususnya dalam bentuk tulisan.
Kami hanya mendapati dua buku saja yang bercerita banyak tentangnya. Pertama Biografi beliau yang ditulis Hariqo, kader HMI Jogja. Kedua, buku Merdeka Sejak Hati yang disusun oleh novelis ternama, Ahmad Fuadi. Kedua penulis berasal dari pesantren Gontor. Sekolah Agama tempat begawan HMI lainnya pernah menempuh pendidikan, Cak Nur.
Ada sekelebat asumsi yang muncul, pertama Lafran Pane memang tidak produktif menuliskan pemikirannya. Kedua, ia memang tidak ingin menonjolkan ide-idenya. Takut dikultuskan dan dipetimatikan oleh kader-kader HMI. Sikap itu kami dapat setelah menyimak salah satu peryataan anaknya. Lafran kurang berkenan jika ada orang yang menspesialkannya. Termasuk menuliskan kisah hidupnya.
Ingatanku tiba-tiba langsung terpaut pada bingkai pigura Lafran Pane bertuliskan pendiri HMI yang ada di sekretariat cabang Bogor. Ya, ingatan kolektif mayoritas kader hanya mengenangnya sebatas pendiri HMI saja. Ide dan gagasannya tak banyak dibahas dalam ruang-ruang kaderisasi.
“Pasti ada banyak pemikiran beliau. Hanya tidak diarsipkan dengan baik saja. Ini tantangan kita. Mendokumentasikan tulisannya. Mustahil seorang Guru Besar hukum tata negara tidak meninggalkan jejak pemikiran,” ucap seorang kawan. Tentu saja pendapatnya itu lahir dari konteks saat ini. Dimana seorang Profesor wajib punya publikasi buku.
Terlepas hal di atas, niatan tersebut perlu direnungkan. Pengumpulan arsip para pendahulu adalah kerja-kerja pengabdian untuk ilmu pengetahuan. Bukankah geliat kemajuan yang dirasakan hari ini adalah buah dialektika intelektual tiap zaman. Tongkat estafet dari pemikir satu ke pemikir lainnya. Gagasan yang dituliskan adalah cikal bakal peradaban. Helaan nafas dari setiap transformasi yang membuat dunia terus berkembang.
Toh jika seandainya Lafran Pane memang tak banyak meninggalkan arsip tulisan atas pemikirannya, setidaknya upaya memproduksi keteladanan kisah hidupnya harus lebih disemarakkan. Makin dalam kami menggali jejak hidupnya, makin sadarlah kami, betapa pendiri HMI adalah sosok manusia sederhana. Tidak haus eksistensi. Tidak suka menonjolkan diri.
Lewat dua buku di atas, kami banyak menemukan pelajaran tarkait ke-zuhudan. Di banyak kesempatan, Lafran Pane lebih mengedepankan kemaslahatan organisasi ketimbang ego personal. Ia secara legowo mewakafkan posisi ketua umum yang belum genap setahun diembannya hanya untuk organisasi terus berkembang. Kepentingan organisasi harus didahulukan.
Sebagai orang yang tak pandai orasi dan bicara di atas podium, ia lebih memilih ruang pengabaian lain yang belum dijamah. Ia sadar posisi. Tak semuanya musti berada di panggung depan. Mengalah untuk mencapai tujuan bersama. Pilihan sikap itulah yang kemudian membuat HMI bertumbuh pesat.
Diam-diam aku terhenyak, pikiranku terbayang dengan kasus dualisme yang menjerat PB HMI saat ini. Di tengah polemik rebutan jabatan yang beranak pinak hingga ke cabang-cabang, Sosok Lafran Pane adalah mata air keteladanan yang dilupakan. Aih…
Sebagai pelopor, Lafran Pane kerapkali ditawari jabatan atau jamuan dari alumni-alumni HMI yang sudah mapan. Walaupun secara kapasitas, ia layak dan mumpuni, ia selalu menghindari ruang-ruang yang rentan menyeret ikatan ke-HMI-an. Ia selalu menolaknya. Ia pertimbangkan matang-matang tiap opsi agar tak mencederai organisasi.
Ia paling keras menolak berhutang jasa atau materi. Ia tidak mau mengorbankan kemerdekaan bersikap baik secara pribadi maupun institusi hanya karena tuntutan balas budi. Ia maknai baik-baik arti menjaga independensi organisasi. Ia tidak mau mengkerdilkan organisasi demi pencapaian eksistensi.
Pernah satu waktu, anaknya berkesempatan menerima beasiswa, namun Lafran Pane menolaknya dengan dalih masih banyak yang lebih membutuhkan. Padahal saat itu, pertimbangannya bukan kemampuan secara ekonomi, tapi prestasi akademik. Dia beranggapan, selagi masih mampu membiayai sendiri, biarkan yang lebih berhak menerimanya.
Jangankan mengkapitalisasi jejaring HMI yang tembus sampai ke elit, sekedar mengakses yang sudah menjadi haknya saja ia selektif.
Seperti halnya Socrates, Lafran Pane memang tak banyak menuliskan langsung jejak pemikirannya. Namun kisah hidup yang dituturkan tentangnya adalah pantulan paradigma yang bersemayam di kepalanya. Refleksi dari prinsip hidup yang dia peluk. Sebuah ajaran tentang kesederhanaan yang sudah banyak ditinggalkan oleh kader-kader HMI. (Rabu, 19/02/2020)
(*)