Berlanjut, Kasus Fee Proyek Lamsel Sidangkan Hermansyah dan Syahroni

232

Bandar Lampung – Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang menggelar sidang perdana perkara dugaan suap fee proyek Lampung Selatan (Lamsel), Kamis (25/2).

Sidang ini merupakan lanjutan perkara suap fee proyek yang telah menjerat mantan Bupati Lamsel, Zainudin Hasan, mantan Kadis PUPR Lampung Selatan, Anjar Asmara serta mantan Anggota DPRD Lampung, Agus Bhakti Nugroho. Ketiganya telah menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Tanjung Karang pada tahun 2019 dan masih menjalani masa pidana nya.

Kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, mendakwa dua terdakwa yakni Hermansyah Hamidi (59) mantan Kadis PUPR Lamsel dan yang juga mantan Asisten Ekonomi Pembangunan Kabupaten Lampung Selatan serta Syahroni, mantan Kadis PUPR Lamsel.

Keduanya dijerat lantaran diduga telah mengumpulkan dan mengalirkan sejumlah uang hasil komitmen fee dari rekanan kepada Zainudin Hasan pada tahun 2016-2017.

Dalam dakwaan JPU KPK, Taufiq Ibnugroho, mengatakan, bahwa uang komitmen fee proyek yang dikumpulkan mencapai Rp54 miliar lebih. Dimana penerimaan uang komitmen fee proyek-proyek pada Dinas PUPR Kabupaten Lampung Selatan tahun 2016 dan 2017 seluruhnya berjumlah Rp49.742.792.145.

“Selain penerimaan tersebut, terdakwa Hermansyah Hamidi juga menerima uang komitmen fee yang bersumber dari proyek-proyek di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Lampung Selatan yang seluruhnya berjumlah Rp5.050.000.000 sekitar pertengahan tahun 2016,” kata Taufiq.

Adapun uang Rp5 miliar tersebut, bersumber dari Syahroni sebesar Rp4 miliar, dari Desy Elmasari Rp700 juta dan dari Adi Supriyadi sebesar Rp300 juta. Kemudian pada akhir tahun 2016, terdakwa Hermansyah juga menerima uang terkait fee proyek di Dinas PUPR Kabupaten Lampung Selatan yang diserahkan oleh Syahroni sebesar Rp50 juta.

Taufiq juga menjelaskan, dari penerimaan tersebut, terdakwa Hermansyah Hamidi telah menerima uang komitmen fee sebanyak Rp54.792.792.145 dan uang sebesar Rp49.742.792.145 sudah diserahkan seluruhnya kepada Zainudin Hasan melalui Agus Bhakti Nugroho dan Syahroni.

“Sedangkan sisa uang komitmen fee sebesar Rp5.050.000.000 digunakan oleh terdakwa Hermansyah Hamidi,” tandasnya.

Sementara terdakwa Syahroni, lanjut Taufiq, dari seluruh uang komitmen fee yang terkumpul Rp54 miliar, terdakwa Syahroni menikmati Rp703 juta. Pada tahun 2018, terdakwa Syahroni telah menerima uang komitmen fee yang bersumber dari Gilang Ramadhan sebesar Rp400 juta, uang tersebut belum diserahkan kepada Zainudin Hasan.

Selain penerimaan tersebut, sambung Taufiq, tahun 2016 terdakwa Syahroni juga menerima uang sisa dana proyek di Dinas PUPR Kabupaten Lampung Selatan dari tekanan sebesar Rp 35 juta. Begitu juga tahun 2017, terdakwa juga menerima uang dari rekanan yang akan mengerjakan proyek di Dinas PUPR Lampung Selatan antara lain Rusman Efendi sebesar Rp100 juta dan Gilang Ramadhan sebesar Rp168,6 juta yang ditransfer ke rekening terdakwa Syahroni.

“Total keseluruhan yang diterima oleh terdakwa Syahroni sebesar Rp54.496.392.145. Yang mana Rp49.742.792.145 telah diserahkan seluruhnya kepada Zainudin Hasan melalui Hermansyah Hamidi dan Agus Bhakti Nugroho, Rp4.050.000.000,00 diserahkan kepada Hermansyah Hamidi dan Rp703.600.000 digunakan untuk kepentingan terdakwa,” tandasnya.

Dijelaskan Taufiq, uang komitmen fee Rp54 miliar tersebut dikumpulkan dari tiga bidang di PUPR. Pengumpulan dana tersebut merupakan hasil duet maut Hermansyah Hamidi dan Syahroni. Bahwa terdakwa Hermansyah Hamidi selaku Kepala Dinas PUPR mendapat arahan dari Zainudin Hasan untuk melakukan ploting rekanan yang akan menjadi pemenang lelang proyek-proyek pada Dinas PUPR Kabupaten Lampung Selatan.

“Selanjutnya terdakwa Hermansyah diberikan daftar pekerjaan tahun anggaran 2016 yang sudah diploting sebanyak 299 paket kegiatan beserta nama-nama rekanan yang ditunjuk menjadi pemenang dengan nilai pagu anggaran keseluruhan sebesar Rp194.333.721.000,” papar Taufiq.

Selain itu, kata Taufiq, Hermansyah Hamidi juga mendapat arahan untuk meminta komitmen fee dari rekanan-rekanan tersebut sebesar 13,5 persen dari nilai proyek dan diserahkan melalui Agus Bhakti Nugroho.

“Atas arahan tersebut, terdakwa Hermansyah Hamidi kemudian menghubungi terdakwa Syahroni untuk mengumpulkan uang komitmen fee dari rekanan-rekanan yang sudah diploting,” tuturnya.

JPU Taufiq membeberkan, sebelum lelang pekerjaan, terdakwa Syahroni berhasil mengumpulkan uang komitmen fee sebesar Rp26.073.771.210 untuk proyek tahun anggaran 2016. Adapun rincian uang fee tersebut bersumber dari dari bidang bina marga pagu Rp135.580.000.000 dengan fee Rp18.303.300.000.

Lalu bidang Cipta Karya nilai pagu Rp34.224.046.000, dengan komitmen fee yang terkumpul Rp4.622.946.210 dan bidang pengairan Rp23.315.000.000, dengan fee yang terkumpul Rp3.147.525.000.

“Selain penerimaan (di luar pagu) tersebut, pada pertengahan tahun 2016, terdakwa Syahroni juga pernah menerima uang komitmen fee dari beberapa rekanan antara lain Beni, Firman KLD, Hartawan, Hasan IY, Mad Lela, Rusli Hendra dan Saiful Jaro yang berjumlah Rp4 miliar,” kata JPU.

“Uang tersebut selanjutnya oleh terdakwa Syahroni diserahkan kepada Hermansyah Hamidi, terdakwa juga menyerahkan uang (yang belum diketahui sumbernya) kepada Hermansyah Hamidi sebesar Rp50 juta,” imbuhnya.

Selanjutnya pada tahun 2017, terdapat 285 paket pekerjaan dengan nilai pagu sebesar Rp175.326.081.000 dengan komitmen fee yang terkumpul sebanyak Rp23.669.020.935. Dengan rincian dari Bidang Bina Marga jumlah kegiatan sebesar Rp124.376.800.000 dan nilai setoran Rp16.790.868.000. Lalu bidang Cipta Karya nilai kegiatan Rp21.300.000.000, dengan setoran Rp2.875.500.000 dan bidang Pengairan sebesar Rp29.649.281.000 dengan nilai setoran Rp4.002.652.935.

Atas perbuatannya itu, kedua terdakwa telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, menerima hadiah atau janji.

Keduanya didakwa dengan Pasal 12 huruf a dan Pasal 11 Undang-undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana. (*/sof)

Sidang ini merupakan lanjutan perkara suap fee proyek yang telah menjerat mantan Bupati Lamsel, Zainudin Hasan, mantan Kadis PUPR Lampung Selatan, Anjar Asmara serta mantan Anggota DPRD Lampung, Agus Bhakti Nugroho. Ketiganya telah menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Tanjung Karang pada tahun 2019 dan masih menjalani masa pidana nya.

Kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, mendakwa dua terdakwa yakni Hermansyah Hamidi (59) mantan Kadis PUPR Lamsel dan yang juga mantan Asisten Ekonomi Pembangunan Kabupaten Lampung Selatan serta Syahroni, mantan Kadis PUPR Lamsel.

Keduanya dijerat lantaran diduga telah mengumpulkan dan mengalirkan sejumlah uang hasil komitmen fee dari rekanan kepada Zainudin Hasan pada tahun 2016-2017.

Dalam dakwaan JPU KPK, Taufiq Ibnugroho, mengatakan, bahwa uang komitmen fee proyek yang dikumpulkan mencapai Rp54 miliar lebih. Dimana penerimaan uang komitmen fee proyek-proyek pada Dinas PUPR Kabupaten Lampung Selatan tahun 2016 dan 2017 seluruhnya berjumlah Rp49.742.792.145.

“Selain penerimaan tersebut, terdakwa Hermansyah Hamidi juga menerima uang komitmen fee yang bersumber dari proyek-proyek di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Lampung Selatan yang seluruhnya berjumlah Rp5.050.000.000 sekitar pertengahan tahun 2016,” kata Taufiq.

Adapun uang Rp5 miliar tersebut, bersumber dari Syahroni sebesar Rp4 miliar, dari Desy Elmasari Rp700 juta dan dari Adi Supriyadi sebesar Rp300 juta. Kemudian pada akhir tahun 2016, terdakwa Hermansyah juga menerima uang terkait fee proyek di Dinas PUPR Kabupaten Lampung Selatan yang diserahkan oleh Syahroni sebesar Rp50 juta.

Taufiq juga menjelaskan, dari penerimaan tersebut, terdakwa Hermansyah Hamidi telah menerima uang komitmen fee sebanyak Rp54.792.792.145 dan uang sebesar Rp49.742.792.145 sudah diserahkan seluruhnya kepada Zainudin Hasan melalui Agus Bhakti Nugroho dan Syahroni.

“Sedangkan sisa uang komitmen fee sebesar Rp5.050.000.000 digunakan oleh terdakwa Hermansyah Hamidi,” tandasnya.

Sementara terdakwa Syahroni, lanjut Taufiq, dari seluruh uang komitmen fee yang terkumpul Rp54 miliar, terdakwa Syahroni menikmati Rp703 juta. Pada tahun 2018, terdakwa Syahroni telah menerima uang komitmen fee yang bersumber dari Gilang Ramadhan sebesar Rp400 juta, uang tersebut belum diserahkan kepada Zainudin Hasan.

Selain penerimaan tersebut, sambung Taufiq, tahun 2016 terdakwa Syahroni juga menerima uang sisa dana proyek di Dinas PUPR Kabupaten Lampung Selatan dari tekanan sebesar Rp 35 juta. Begitu juga tahun 2017, terdakwa juga menerima uang dari rekanan yang akan mengerjakan proyek di Dinas PUPR Lampung Selatan antara lain Rusman Efendi sebesar Rp100 juta dan Gilang Ramadhan sebesar Rp168,6 juta yang ditransfer ke rekening terdakwa Syahroni.

“Total keseluruhan yang diterima oleh terdakwa Syahroni sebesar Rp54.496.392.145. Yang mana Rp49.742.792.145 telah diserahkan seluruhnya kepada Zainudin Hasan melalui Hermansyah Hamidi dan Agus Bhakti Nugroho, Rp4.050.000.000,00 diserahkan kepada Hermansyah Hamidi dan Rp703.600.000 digunakan untuk kepentingan terdakwa,” tandasnya.

Dijelaskan Taufiq, uang komitmen fee Rp54 miliar tersebut dikumpulkan dari tiga bidang di PUPR. Pengumpulan dana tersebut merupakan hasil duet maut Hermansyah Hamidi dan Syahroni. Bahwa terdakwa Hermansyah Hamidi selaku Kepala Dinas PUPR mendapat arahan dari Zainudin Hasan untuk melakukan ploting rekanan yang akan menjadi pemenang lelang proyek-proyek pada Dinas PUPR Kabupaten Lampung Selatan.

“Selanjutnya terdakwa Hermansyah diberikan daftar pekerjaan tahun anggaran 2016 yang sudah diploting sebanyak 299 paket kegiatan beserta nama-nama rekanan yang ditunjuk menjadi pemenang dengan nilai pagu anggaran keseluruhan sebesar Rp194.333.721.000,” papar Taufiq.

Selain itu, kata Taufiq, Hermansyah Hamidi juga mendapat arahan untuk meminta komitmen fee dari rekanan-rekanan tersebut sebesar 13,5 persen dari nilai proyek dan diserahkan melalui Agus Bhakti Nugroho.

“Atas arahan tersebut, terdakwa Hermansyah Hamidi kemudian menghubungi terdakwa Syahroni untuk mengumpulkan uang komitmen fee dari rekanan-rekanan yang sudah diploting,” tuturnya.

JPU Taufiq membeberkan, sebelum lelang pekerjaan, terdakwa Syahroni berhasil mengumpulkan uang komitmen fee sebesar Rp26.073.771.210 untuk proyek tahun anggaran 2016. Adapun rincian uang fee tersebut bersumber dari dari bidang bina marga pagu Rp135.580.000.000 dengan fee Rp18.303.300.000.

Lalu bidang Cipta Karya nilai pagu Rp34.224.046.000, dengan komitmen fee yang terkumpul Rp4.622.946.210 dan bidang pengairan Rp23.315.000.000, dengan fee yang terkumpul Rp3.147.525.000.

“Selain penerimaan (di luar pagu) tersebut, pada pertengahan tahun 2016, terdakwa Syahroni juga pernah menerima uang komitmen fee dari beberapa rekanan antara lain Beni, Firman KLD, Hartawan, Hasan IY, Mad Lela, Rusli Hendra dan Saiful Jaro yang berjumlah Rp4 miliar,” kata JPU.

“Uang tersebut selanjutnya oleh terdakwa Syahroni diserahkan kepada Hermansyah Hamidi, terdakwa juga menyerahkan uang (yang belum diketahui sumbernya) kepada Hermansyah Hamidi sebesar Rp50 juta,” imbuhnya.

Selanjutnya pada tahun 2017, terdapat 285 paket pekerjaan dengan nilai pagu sebesar Rp175.326.081.000 dengan komitmen fee yang terkumpul sebanyak Rp23.669.020.935. Dengan rincian dari Bidang Bina Marga jumlah kegiatan sebesar Rp124.376.800.000 dan nilai setoran Rp16.790.868.000. Lalu bidang Cipta Karya nilai kegiatan Rp21.300.000.000, dengan setoran Rp2.875.500.000 dan bidang Pengairan sebesar Rp29.649.281.000 dengan nilai setoran Rp4.002.652.935.

Atas perbuatannya itu, kedua terdakwa telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, menerima hadiah atau janji.

Keduanya didakwa dengan Pasal 12 huruf a dan Pasal 11 Undang-undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana. (*/sof)